frans indonesia

Dua kali jatuh di bisnis furnitur,  Frans Satrya Pekasa lantas bangkit bermodalkan nama baik dan membuat situs web. Kini, ia mampu mengekspor  12 kontainer furniture kayu jati per bulan. frans pakar seo indonesia

Cirebon.pertengahan 2005. Di sebuah rumah.seorang pria duduk terpaku di depan komputernya. Hingga matanya tertumbuk pada materi The Secret dan Manajemen Kuantum Ikhlas. “Saya saat itu menemukan pencerahan, kalau kita berniat, seluruh alam akan membuatnya terwujud,” ungkap pria bernama Frans Satria Pekasa itu.

Kala itu, sebagai pengusaha furnitur, Frans berada dijurang kehancuran. Semua harta pribadinya Ludes karena kesalahan manajemen. Belum lagi, ada gandukan utang. “Saat itu saya benar-benar berada di titik minus,” ujar pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, 1975 itu. Frans pun memutuskan kembali bergerak. Hanya bermodalkan nama baik, selama tujuh tahun berbisnis furniture, ia kembali mendekati para perajin furniture kayu jati. “Saat itu juga saya sadar, bahwa modal utama pengusaha adalah nama baik. Dengan itu saja, para perajin mau berproduksi untuk saya,” ujar Frans yang juga mengakui sangat dibantu Internet dalam memasarkan produknya. Akhirnya dalam tempo dua tahun, kondisi Frans kembali pulih. Bahkan, kini ditahun 2010, dengan dibantu 40 karyawan di Cirebon dan Jepara serta 1.000 lebih perajin, perusahaannya, PT Gading Dampar Kencana, dengan merek dagang Mega Furniture, mampu mengekspor puluhan kontener furniture per bulan ke mancanegara dengan nilai miliar rupiah.

Untuk mencapai titik ini, Frans memang melalui dua kali kejatuhan. Kejatuhan pertama justru diawali saat dirinya belum berbisnis furniture pada akhir 1990-an. Saat itu, selulus dari Jurusan Tehnik Industri Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya, orang tuanya yang pengusaha konstruksi harus menghadapi krisis moneter 1997. “Bisnisnya jatuh. Perusahaan-perusahaanya  diambil alih BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional),” katanya. Namun, kejadian itu tidak membuatnya jera menjadi pengusaha. Frans yang berfilosofi “Lebih baik jadi kepala tikus ketimbang buntut gajah” memang bertekad menjadi wirausaha sejak kuliah. Bahkan, untuk memuluskan rencananya itu semasa kuliah dia menyempatkan magang di lebih dari 8 perusahaan. Mulai dari perusahaan ekspedisi kapal laut,pabrik kayu Grup Djayani, hingga kantor-kantor bea cukai pernah disinggahinya. Lengkaplah pengetahuannya. “Memang, tujuan saya mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya.

Jadi ketika menjadi pengusaha, sebenarnya saya sudah banyak pengalaman,”papar Frans yang menggadaikan mobil Honda Civic tahun 1989 miliknya untuk bisa mendapatkan modal awal Rp 25 juta. Melihat banyaknya agen eksportir furniture rotan dan kayu jati di kampung halamannya, Frans lantas menjadi makelar bagi mereka. Pekerjaanya sederhana. Mencari order ke para agen, kemudian menyubkontrakan produksinya ke para pengerajin. Dalam tempo setahun, ia bisa balik modal. Akan tetapi, ia sadar, tidak enak sekedar jadi mekelar. Sebab, terlalu banyak aturan yang njelimet . “Kalau terlambat mengirim, dipotong pembayarannya. Barang kurang bagus atau cacat, dipotong lagi. Sudah memberi down payment keperajin tapi sampai gudang furniturnya ditolak. Sudah begitu pembayaran lebih lambat lagi. Jadi, kebih enak punya buyer sendiri,” papar Frans yang sejak kelas 2 SD sudah “dimagangkan” di perusahaan konstruksi ayahnya.

Akhirnya, pada 2001 ia memilih mencari pembeli asing sendiri dengan bermodal jaringan yang sudah dirintisnya saat menjadi makelar. Tak ketinggalan, ia membuka situs web. Bisnis yang diawali dengan dua karyawan- salah seorang diantaranya teman SMAnya- itu pun berjalan mulus. Awal tahun 2000-an Frans sudah mengekspor berbagai furniture berbahan rotan dan kayu jati hingga 3 kontainer / bulan. Produknya memang sama: kursi, meja, lemari, ranjang tidur, dsb. Dalam berbisnis, sama seperti ketika menjadi makelar, ia menerapkan prinsip jual – beli. alias, cari dulu pembeli atau pasarnya; setelah ada pesanan, barulah memesan ke para pengrajin. “Biasanya saya memasarkan ke para agen perwakilan orang asing di Indonesia. Mereka umumnya berbasis di Jakarta,” tuturnya.

Memang, pola usahanya masih sangat sederhana kala itu. Bahkan, ia mengaku banyak menjiplak desain yang ada di internet. “Model bisnisnya ‘palugada’. Apa lu mau gua ada,’ ujarnya sambil tertawa kecil. Bisnis Frans terus berjalan mulus. Dan, pada 2004, terdorong oleh banyaknya modal yang dimilikinya, ia mulai mendiversifikasi bisnis yang jauh melenceng dari bisnis intinya. Ia memasuki bisnis property jual-beli batubara. Hasilnya: ia merugi. Bahkan, akibat perusahaanya tidak tertangani, usaha yang sudah dibagun susah payah itu dibawa lari teman SMA yang dulu dibantunya itu. “Merek perusahaan saya, Mega Furniture, dipakainya dan juga seluruh karyawan saya dibawanya tanpa sisa, bahkan hingga ke office boy juga, “ katanya mengenang. “Saya hanjur kala itu,” tambahnya. Seluruh hartanya, rumah dan semua mobilnya lenyap, utangnya pun menggunung bermilyar-milyar. Frans sampai harus menumpang di rumah orang tuanya di Cirebon juga. “untuk makan saja dari mertua” ungkapnya.

Selama 6 bulan dari akhir 2004 hingga pertengahan 2005, kerja Frans sehari-hari hanya memelototi layar computer. Untunglah, ia segera menemukan emas di Internet, inspirasi dari petuah buku The Secret dan juga dari materi Manajemen Kuantum Ikhlas. Semangatnya kembali menyala. “Saya bersyukur, saya pernah jatuh. Jatuh itu baik. Pengalaman itu mendewasakan saya,”ujarnya. Frans pun memulai pasar baru dan meminta para perajin. Dari situlah ia merasa bersyukur, selama bertahun-tahun bekerja sama dengan pengerajin furniture, ia tidak pernah menyalahi kepercayaan mereka. “Berkat itu, saya dapat pinjaman Rp 11 miliar dari pengerajin yang dulunya bekerja dengan saya,” papar Frans dengan mata menerawang mengingat kebaikan mitra bisnisnya itu. Bahkan, untuk jaminan, para perajin itu rela hanya diberi secarik kertas perjanjian yang dibubuhi kertas materai Rp 6 ribu dan tanda tangan Frans. “Saat itu, saya suka menyimpan beberapa lembar materai di dompet, untuk berjaga-jaga, “ujarnya.

Tak ketinggalan, ia kembali aktif menggarap situsnya  www.megafurniture.net. Meski demikian, kalau mau jujur, cara pemasaran Internetnya kala itu agak “kurangajar”. “Saya nge-spamming,” paparnya seraya menerangkan, spamming sederhananya adalah mengirim surat elektronik berisi iklan keseluruh akun surel yang dikenalnya.

Selain itu, ia juga memperbanyak situs webnya sehingga terdapat beberapa buah. Ia ingin memperbesar peluang meraih pembeli. Ia juga menerapkan tehnik search engine optimization (SEO). “Tujuannya, supaya situs kita mudah ditemukan. Saya dibantu pakar SEO kala itu.” Di luar itu, Frans pun gencar berpameran di Singapura dan Indonesia.

Akhimya, pada 2007 ia sudah dapat mengekspor hingga 7 kontainer furnitur per bulan. Sekadar gambaran, satu kontainer bisa berisi sekitar 1.000 kursi lipat. Langkah pameran itu terbukti tepat. Estuardo , salah satu klien Frans asal Guatemala yang menemuinya saat berpameran di Singapura empat tahun lalu, hingga kini memesan 1-4 kontainer furnitur kayu jati per bulan untuk dipasarkan di Amerika Selatan dan Amerika Serikat. Setelah tahun 2005, bahan baku furnitur Frans juga mulai berubah. Sesuai dengan permintaan pasar, ia mulai memperbanyak produksi furnitur berbahan kayu jati (di atas 50%) ketimbang rotan. Dan, pada 2007, proses, produksi yang kala itu 80%-nya berbasis di Jepara dan sisanya di Cirebon pun mulai diperbaiki. Frans bersama 40 karyawannya menerapkan 6 lapis quality control. “Orang lain umumnya hanya 2-3 kali. Kami, mulai dari raw material, di gudang dua kali, proses awal pengamplasan, finishing dan packing. Hasilnya, komplain pelanggan berkurang drastis,” katanya.

Komputerisasi administrasi pun dilakukan dengan menggunakan software akuntansi Peach 3 dan software untuk MYOB sistem administrasi. “Sejak 2008 saya pakai software itu. Setiap saat kami jadi tabu untung-rugi per kontainer berapa,” katanya. Langkah pembenahan Frans terbukti sukses. Tahun 2008 produksinya melonjak dua kali lipat. Dalam sebulan, ia bisa mengekspor 15 kontainer furnitur. Namun, lantaran krisis keuangan global permintaannya kini menyusut menjadi’ 30 kontainer per bulan. “Kalau dirata-rata, sekitar 20 ribu pieces furnitur per bulan,” tuturnya sambil menyebutkan bahwa pasar utamanya adalah Italia, Prancis dan Jerman. Lainnya, Inggris dan Yunani. “Saya tidak ada pasar lokal sama sekali. Karena. jual ke lokal tidak bisa banyak,” ujarnya. Untuk melayani pembeli di luar negeri, situs Frans di lengkapi online customer care meng¬gunakan Yahoo Messenger, Skype, MSN dan Gtalk. Pembayarannya bisa menggunakan telegraphic transfer. Handito Hadi Juwono, pengamat bisnis dari Arrbey Indonesia, memberi masukan kepada Frans untuk tetap mencliversifikasi produk dan juga pasar. Sehingga, risiko ketergantungan pada vendor atau klien bisa dihindari. Tak lupa ia mengingatkan agar. Frans tetap berhati-hati dalam berbisnis karena bisnis furnitur kayu sangat rentan isu lingkungan. “Selain itu. waspadai juga era perdagangan bebas dengan Cina dan ASEAN. Itu semua pasti berdampak pada penjualan ekspor,” kata Handito. (Eddy Dwinanto Iskandar: MAJALAH SWA-13/XXVI/24-juni-2010)

204 thoughts on “frans indonesia

  1. Bagus sekali pak, menyentuh hati untuk berbuat lebih baik lagi. dan ini bisa dijadikan sebagai motivasi supaya saya lebih semangat

  2. Vivat….

  3. Guru ,Kpan d adakan Seminar lgi ..
    Aku mau ikut lgi ..

  4. salam kenal…
    semangat NBC Solo…kapan ke sby telp saya ya…

  5. Mantap, luar biasa pak. mdh2an bisa belajar banyak dari anda.

  6. Mantap pak, Nasional Boot Camp Solo memang dahsyat. Ga Nyesel deh

  7. Hey, sorry for the delay, this is the information you asked for. I think you’ll agree it was well worth the wait: http://weekly-income-now.info

  8. kisah yang pak frans alami sampai menjadi sukses,harus kita jadikan pelajaran yang berharga

  9. cerita hidup yg penuh motivasi, saya kpengen belajar banyak sm pak frans perkasa….

  10. cerita yang menginspirasi saya yang sebagai pemuda,anak kemarin sore yang baru terjun di dunia internet marketing. Terima kasih om buat cerita yang mencerahkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *